Rabu, 31 Juli 2013

Daeng Tata Di Mataku

Tempat ini bersejarah buat ku. Mampir menikmati indahnya tawaran jajanan pinggir jalan sebuah ibu kota bersama Bapak (alm) beberapa tahun lalu. Sore ini kami merayakan keberhasilanku, membuka jalur baru dan berteman dengan satu kelompok penting dalam IWRM.

Tempat warung ini masih seperti yg dulu kuingat. Ada penambahan satu lantai ke atas. Ada secuil tempat parkir di sebelah warung makan ini. Parkir memang jadi masalah.

Sore ini (31/7/13)  tidak terlalu ramai. Kebanyakan orang masih ngabuburit.

Sempat tertegun melihat daftar menu. Tata Ribs Great B harganya 43.000. Great A atau porsi jumbonya, harganya 47.000. Semangkuk Coto harganya 27rb. Pengaruh kasus impor daging korupsi PKS sampai juga ke meja makan. Siapa yg mampu jajan hampir 50 ribu untuk satu porsi makanan? Jawabannya BANYAK. Hal lain yg menarik adalah ada harga untuk sepiring nasi dan segelas air teh. Sudah agak lama sih pengaruh kasus naiknya harga beras dan impor beras, juga terasa di tempat jajanan. Hehe. Kebiasaan makan di warung pinggir jalan yg bayarnya gak pake struk, jadi terkagum sama price list.

Hati-hati juga di bagian akhir akan ada Pb1 10%. Pajak Pajak Pembangunan 1 atau PB1, jadi Anda makan dikenakan pajak untuk PB1 atau pajak daerah.

Persis di seberang Daeng Tata ini ada juga warung makan serupa. Milik adiknya, katanya. Sengaja dibuka cabang di sana, agar pengunjung yg dari arah Casablanca menuju Kampung Melayu, tidak perlu muter balik jika mau mencicipi manisnya daging sapi khas Sang Daeng. Om Zen pernah nyicipin tuh makanan saat kita balik dari ngurus Visa tahun lalu.

Kalau di suatu kota besar, ada warung makan khas daerah, artinya apa? Ada komunitas dari daerah asal yg memang membutuhkan kuliner khas daerahnya tersedia di kota perantauan barunya. Sebuah upaya untuk mengenalkan kekayaan budaya daerah lokal ke komunitas dari suku lain. Seharusnya ada usaha lebih pemerintah untuk isu kuliner dan jajanan lokal khas suatu daerah. Disitulah peruntukkan pajak digunakan. Adakah asosiasi rumah makan khas Sulawesi di Jakarta?

Di Bogor ada juga sajian Coto Makasar. Di Jalan Ahmad Yani, sebelum GOR. Asik juga cotonya. Makan di bawah rindangnya pohon Mahoni.

Kayanya Nusantara.

Rabu, 10 Juli 2013

Mie Enak DPR dan Mie 'Biasa' Mall


Sehari menjelang puasa, mendapat kesempatan menikmati semangkuk Mie Kosim Taman Kencana. Bukan si Kosimnya yg ngelayanin. Rasanya sedikit berbeda. Tapi rasa khas mie-nya masih terasa lah. Walau Muhamidayah sudah mulai berpuasa hari ini, tapi keramain di tukang jajanan di sudut Taman Kencana masih terlihat ramai.

Saya mengenal mie kosim sejak jaman kuliah tahun 90an dulu. Mungkin karena duit pas-pas-an, kalau pas ke kota dan makan mie ini, rasanya enak banget. Tapi sampai sekarang, tahun 2013, memang rasanya masih enak kok. Apalagi dulunya ada pohon kemuning besar tepat di depan gerobaknya kosim. Sekarang sudah gak ada. Ditebang karena peremajaan tanaman kota, kata kosim dengan nada lirih. Biar bagaimana, jajanan DPR (di bawah pohon rindang), tentunya membawa suatu cerita sendiri.

Gak sengaja juga, sorenya jajan mie ayam di sebuah mal di jalan baru. Hujan petir gede menggelegar memaksa kami berteduh. Lumayan, begitu kata DD sambil memberi rekomendasi. Mie jamur pesanku. Jamurnya gak ada. Karena udah dicampur dengan ayamnya, kata si penjaga seadanya. Ketika pesanan datang, benar aja. Beda banget sama poto yg nempel di menu. Jamurnya sudah hancur, tidak kalah ketus sang kasir memberi penjelasan. Dia juga tidak mengembalikan 500 rupiah kembalian dari pembayaran. Kali ini tanpa penjelasan.

Yg bikin jajanan enak tuh memang bukan melulu rasa masakannya. Tapi si penjual dan tempatnya. Sayang jajanan di mal-mal berdinding beton ini tidak berhasil mengangkat suatu yg khas dari rasa ‘jajanan rakyat pinggir jalan’. 

*DPR = Di bawah Pohon Rindang